Sejarah dan Epos Sepakbola dari Tanah Katalunya

Sejarah dan Epos Sepakbola dari Tanah Katalunya

Sejarah dan Epos Sepakbola dari Tanah Katalunya

Sejarah dan Epos Sepakbola dari Tanah Katalunya Ada banyak cara untuk mengenang sosok Joan Gamper (1877-1930), yang sebenarnya bernama Hans-Mark Kamper. Ia bukan hanya tulang punggung bagi klub sepakbola FC Basel dan FC Zurich, tetapi juga seorang pelari rekor 800 dan 1. 600 meter, atlet balap sepeda, pemain rugby di Athletique Union, penggemar tenis, jurnalis sepakbola terkemuka, akuntan, dan pebisnis sukses.

Sejarah dan Epos Sepakbola dari Tanah Katalunya

Sejarah dan Epos Sepakbola dari Tanah Katalunya

 

Namun, di mata masyarakat Katalunya, semua gelar tersebut tidak begitu berarti. Bagi mereka, Gamper hanya diingat sebagai “padre fudrador” atau ayah dari klub sepakbola FC Barcelona.

Peran Gamper dalam kelahiran Blaugrana sangatlah besar. Ia adalah pendiri, investor, mantan pemain sekaligus kapten, dan mantan presiden klub. Dalam bukunya *Barca: A People’s Passion* (1999), Jimmy Burns mencatat bahwa perjalanan Gamper dimulai pada tahun 1898, ketika ia pindah dari Swiss ke Katalunya untuk membantu bisnis pamannya, Emili Gaissert. Suatu hari, Gamper melihat sekelompok anak muda yang sedang bermain bola di kawasan Sarria, hanya beberapa ratus meter dari kantornya.

 

Baca Juga : Mengapa FC Barcelona Begitu Ikonik

“Ayahku memberi hadiah dua bola bersih yang ia bawa dari Swiss dan kemudian ikut bermain bersama mereka. Dari momen itu, ia terinspirasi untuk mendirikan klub profesional di Katalunya,” kenang Marcel, putra Joan Gamper, seperti dikutip dalam tulisan Burns.

Gamper kemudian mencari atlet sepakbola dan investor yang berminat bergabung dengannya melalui iklan yang dimuat di koran *Los Deportes* pada 22 Oktober 1899. Sebulan kemudian, para pemain dan penyandang dana dari berbagai negara berkumpul, termasuk Otto Kunzle (Swiss), Walter Wild, John dan William Parsons (Inggris), serta Eric Ducal, Pere Cabot, Cares Pujol, Josep Lobet, Luis d’Ossso, dan Bertomeu Terradas (Spanyol).

Sepuluh nama tersebut, bersama Gamper, mengadakan rapat di Sole Gymnasium pada 22 November 1899, yang kini diperingati sebagai hari lahirnya FC Barcelona.

Pada masa-masa awal, Barcelona berhasil meraih trofi Copa Macaya pertamanya pada musim 1900/1901, hanya dalam waktu kurang dari dua tahun setelah pendirian klub. Semusim kemudian, Blaugrana berhasil mencapai final Copa del Rey, meskipun kalah 2-1 dari Club Vizcaya.

Gamper pensiun sebagai pemain pada tahun 1903 dengan catatan lebih dari 100 gol. Lima tahun kemudian, ia terpilih sebagai presiden klub dan menjabat selama lima periode (1908-1909, 1910-1913, 1917-1919, 1921-1923, dan 1924).

Berbagai gebrakan dilakukan Gamper selama masa kepemimpinannya. Dominic Keown dalam *A Companion to Catalan Culture* (2011) menyatakan bahwa salah satu revolusi terpenting Gamper adalah mengubah bahasa resmi klub dari bahasa Spanyol ke bahasa Katalan pada tahun 1922. Perubahan ini menyebabkan jumlah anggota kelompok pendukung resmi Barcelona melonjak dari 6. 000 menjadi 20. 000 orang, sebagian besar adalah warga asli Katalunya.

Dengan meningkatnya jumlah anggota, Barca pun berpindah markas dari stadion pertamanya, Camp de La Industria yang hanya memiliki kapasitas 6. 000 penonton, ke stadion yang lebih besar, Camp de Les Corts. Les Corts awalnya dibangun dengan kapasitas 25. 000 kursi dan terus mengalami penambahan hingga mencapai 60. 000 penonton.

Di dalam lapangan, Gamper mengambil kebijakan yang juga revolusioner dengan mengangkat Jack Greenwell, yang juga seorang mantan pemain Barca, sebagai pelatih tetap pertama pada tahun 1917. Di bawah asuhan Greenwell, Blaugrana pun mulai menjelma menjadi salah satu kekuatan baru dalam dunia sepakbola Spanyol.

 

Baca Juga : Rekomendasi Novel Bahasa Inggris Terbaik untuk Pemula 

Melatih antara tahun 1917 hingga 1923, juru taktik berkewarganegaraan Inggris ini berhasil meraih dua trofi Copa Del Rey serta lima trofi Campionat de Catalunya. Di era kepemimpinannya, tiga pemain yang paling mencolok adalah Ricardo Zamora (kiper), Josep Samitier (gelandang), dan Paulino Alcantara (penyerang).

Paulino Alcantara, yang juga tercatat sebagai pemain Asia pertama dalam sejarah Barcelona, hingga kini menjadi salah satu tokoh yang dihormati. Dikenal luas, dalam sebuah pertandingan kontra Real Sociedad pada tanggal 13 April 1919, pria yang lahir di Filipina itu mencetak gol yang menarik perhatian, hingga bola yang dia tendang mengenai seorang polisi dan membuatnya pingsan. Sejak saat itu, gol tersebut dikenang dengan sebutan ‘Police Goal’.

“Peran Alcantara di era Greenwell sangatlah signifikan. Setiap serangan Barcelona senantiasa berorientasi pada kakinya,” tulis analis sepak bola Rory Smith dalam bukunya yang berjudul Mister: The Men Who Taught The World How To Beat England at Their Game (2016).

Jatuh dan Bangkit Melawan Rezim Fasis

Penampilan gemilang Alcantara dan rekan-rekannya membuat Barcelona di bawah kepresidenan Gamper semakin dicintai oleh masyarakat Katalunya. Sayangnya, masa-masa indah tersebut tidak bertahan lama.

Ketika Barcelona menjamu CE Jupiter di markas mereka pada 14 Juni 1925, para suporter Blaugrana yang marah atas kediktatoran keluarga Primo de Rivera mulai melantunkan lagu kebangsaan Spanyol, “Royal March”.

“Sikap tersebut dianggap sebagai penghinaan terhadap kerajaan Spanyol,” ungkap sejarawan Adrian Shubert dalam A Social History of Modern Spain (1990). Sepuluh hari setelah peristiwa itu, Gamper dipecat dari jabatannya.

Sebagai akibatnya, Barcelona juga dijatuhi sanksi berupa penutupan stadion selama enam bulan. Meskipun hukuman tersebut akhirnya dipotong menjadi tiga bulan, penutupan stadion tetap menjadi pukulan berat bagi keuangan klub.

Pada 30 Juli 1930, sekitar lima tahun setelah mengundurkan diri sebagai presiden klub, Gamper ditemukan dalam kondisi tidak bernyawa di Pemakaman Montjuïc. Depresi dan masalah keuangan yang berkepanjangan menjadi faktor yang mendorong pria asal Winterthur, Swiss ini untuk mengakhiri hidupnya.

Kematian Gamper menandai sebuah masa kelam dalam sejarah sepak bola Katalunya. Meskipun Barcelona masih tampil mengesankan di turnamen lokal, mereka kian melempem di pentas nasional. Sepanjang dekade 1930-an, pencapaian terbaik mereka hanyalah menempati posisi ketiga di Liga Spanyol.

Perang saudara di Spanyol yang menyebabkan liga vakum selama beberapa musim juga membuat masyarakat Katalunya kehilangan minat untuk datang ke stadion. Jumlah anggota kelompok suporter resmi Barcelona menurun drastis menjadi hanya 2. 500 orang, angka yang sangat menyedihkan dalam sejarah klub.

“Orang-orang Katalunya lebih memilih untuk berdiskusi mengenai politik ketimbang hadir di stadion,” catat Shubert.

Menariknya, seiring berjalannya waktu, politik akhirnya turut membangkitkan kembali minat sepak bola di kalangan warga Katalunya.

Titik balik terjadi pada 6 Agustus 1936 ketika presiden klub Barcelona yang saat itu aktif, Josep Sunyol, ditembak mati oleh pasukan jenderal fasis pemberontak, Francisco Franco, di Serra de Guadarrama, Madrid.

Sid Lowe dalam bukunya Fear and Loathing in La Liga (2014) mencatat bahwa Sunyol dihabisi karena dianggap sebagai “separatis Katalunya,” yang dianggap mengancam ambisi Franco untuk menasionalisasi Spanyol.

Lowe juga menekankan bahwa dugaan terhadap motif tersebut semakin diperkuat saat Franco menjadi diktator Spanyol tiga tahun kemudian, di mana diskriminasi terhadap kaum separatis tidak hanya menimpa individu seperti Sunyol. Lembaga dan institusi mana pun yang terlihat menyimpang dari narasi nasionalisme Franco juga akan mengalami masalah. Tidak terkecuali FC Barcelona sebagai entitas sepak bola.

Back To Top